Bagi orang awam,
olah raga mendaki gunung boleh
jadi dianggap aneh dan sulit
untuk dimengerti . Lihat saja hasrat para pendaki gunung,
selalu ingin terus mendaki
gunung yang paling besar, tinggi
dan menantang atau bahkan
menyengsar akan. Dengan biaya
relatif mahal (akomodasi dan perlengkap an pendakian) ,
pendaki gunung merayap
memecah kesunyian, dan seolah
tak peduli akan bahaya yang
mengintai. Kabut tebal, udara
dingin, dan jalan terjal, menjadi
“bumbu penyedap” bagi seorang
pendaki gunung
Selain kepuasan jiwa. Di puncak
mereka bisa merasakan betapa
diri manusia menjadi kecil
ditengah kosmos ciptaan Tuhan;
diri manusia hanya setitik noktah
di lautan makro kosmos. Jika kepuasan jiwa (an sich) yang
mereka cari, percayalah kawan –
bagi pendaki gunung
pengorbanan jiwa dan materi bisa
ditaruh di nomor 99! Sejatinya
dua pengorbanan itu tak berarti
apa-apa
Jika kita tanyakan pada seratus
pendaki gunung tentang
leitmotive mereka mendaki
gunung, maka kita akan
mendapat seratus macam
jawaban berbeda. Ketidak
mengertian orang awam
terhadap sosok pendaki gunung
juga terlontar saat menyimak
momen pendaki gunung yang
bertahan dari keliaran alam. Si
“beruang es” Norman Edwin dan
Didik Samsu (juga tragedy
mutakhir di Gn. Slamet, Tedi di Gn.
Kerinci) menjadi contoh yang
menyeret rasa pilu dari sederet
aktifis pendaki gunung yang
harus membayar kedekatan
dengan gunung dengan harga
mahal!!
Kematian Norman dan
Didik, bertekad mengibarka n
bendera merah putih di puncak 7
benua (the seven summits) yaitu
Carstensz Pyramid (Papua),
Kilimanjaro ( Tanzania), Mc.
Kinley (Alaska), Elbrus (Rusia),
Aconcagua (Argentina ) Vinson
Massif (Kutub Utara), Mount
Everest (Himalaya) . Sayang, saat
ekspedisi ke Aconcagua Norman
dan Didik telah di jemput ajal.
Norman Edwin diduga terserang
froshbite (radang beku) atau juga
Pulmonary Edema dengan gejala
nafas terputus-p utus, dada
sesak, nafsu makan hilang,
kuku,wajah dan bibir kebiru-bir
uan. Sedangkan Didik, dipastikan
terkena Snow blind (buta salju).
Froshbite, Pulmonary edema,
Snow blind adalah bagian dari
mountain sickness (penyakit
gunung) yang setiap waktu dapat
menyerang para aktifis pendaki
gunung. Karena itu banyak orang
yang menilai olah raga mendaki
gunung beresiko maut. Karena itu
banyak enggan masuk ke dalam
komunitas pendaki gunung
(Organisas i Pecinta Alam) dan
terlibat dalam aktifitas
pendakian, dengan alasan (tidak
logis menurut kami) takut
menemui maut dalam aktifitas
pendakian. Pertanyaan mereka
adalah, Disamping kepuasan jiwa,
apa sebenarnya yang kamu cari
di puncak gunung, kawan? Ajal
atau penderitaa n? Sebenarnya ,
menurut Iwan “ompong” Abdul
Rahman katakan, bahwa
petualang (mendaki gunung)
bukanlah soal kematian, kematian
tak bisa dihindari dimanapun dan
kapanpun. Itu sesuatu yang pasti.
Atau, keyakinan Norman –trance
—ya ng berkata …kalo gw mati,
gw milih mati di gunung! Toh,
diluar resiko tinggi (high risk)
aktifitas mendaki gunung banyak
sisi positif yang bisa kita
dapatkan.
Iwan Fals, melalui lagu dengan
title lagu pemanjat, menyebut
bahwa para penggiat alam bebas
adalah orang-oran g yang
berjiwa yang Liat. Jiwa yang liat
adalah jiwa yang tahan tehadap
tempaan alam yang berat. Karena
kegiatan di alam bebas pada
intinya adalah merupakan
laboratori um kehidupan dalam
skala kecil.
Interaksi aktifis dengan alam liar
seperti mendaki gunung bisa
menempa jiwa, menyehatka n
fisik dan mejadi medium proses
pendewasaa n, meningkatk an
spirituali tas, membentuk
karakter militant, sabar, cermat.
Aktifitas di alam bebas memberi
bekal kecerdasan Emosi dan
Spiritual yang sangat dibutuhkan
dalam mengarungi kehidupan
nyata.
Apapun alasannya… aktifitas di
alam bebas tak akan pernah
berhenti dan selalu bersemanga t
layaknya bunga keabadian;
edelweiss; anaphalis.
Kamis, 29 November 2012
Pecinta alam part II
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar